Ebenezer dan Krisis Moral Politik: Politik Para Hipokrit !

 Ebenezer dan Krisis Moral Politik: Politik Para Hipokrit !

Muhammad Naufal Taftazani | #NaufalLawyer | www.NaufalLawyer.com





Kasus korupsi yang menyeret Ebenezer jelas bukan sekadar soal seorang politisi yang jatuh karena kesalahan pribadi. Ia lebih mirip sebuah drama politik yang mempertontonkan betapa jauhnya jarak antara narasi moral dan praktik kekuasaan di negeri ini.

Kita sering mendengar korupsi disebut sebagai extraordinary crime—kejahatan luar biasa yang merusak sendi keadilan sosial dan menghancurkan kepercayaan publik terhadap negara hukum. Tapi apa yang terjadi di lapangan? Justru korupsi muncul berulang kali, nyaris seperti rutinitas, seakan sudah menjadi bagian dari mekanisme normal politik Indonesia.

Kalau kita menoleh ke belakang, jelas ini bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Korupsi telah menjelma semacam “tradisi gelap” dalam politik modern kita. Mereka yang seharusnya mengemban amanah rakyat justru tega mengkhianatinya. Ebenezer hanyalah salah satu nama terbaru dalam daftar panjang para pejabat yang terseret arus kepentingan dan godaan kekuasaan.

Maka, alih-alih kita menganggap ini sebagai anomali, kasus Ebenezer justru menegaskan bahwa ada sesuatu yang lebih mendasar yang salah. Demokrasi kita masih berjalan dengan logika transaksional, dan lembaga hukum yang mestinya jadi benteng malah rapuh di hadapan tekanan politik.

Kalau kita menengok ke belakang, ada dua momen penting ketika Immanuel “Noel” Ebenezer menyuarakan gagasan ekstrem soal hukuman mati bagi koruptor. Pertama, pada 2 Februari 2021, lewat unggahan di akun X (dulu Twitter), ia menulis dengan lantang: “Kembali ke Pokok Persoalan Bangsa ini. HUKUM MATI KORUPTOR !!!” seraya menandai beberapa tokoh publik seperti Susi Pudjiastuti, Presiden Jokowi, dan Erick Thohir. Saat itu, pernyataan Noel terasa heroik, seperti ajakan keras untuk menegakkan keadilan yang tak bisa ditawar.

Setahun kemudian, tepatnya 14 Januari 2022, ia kembali menegaskan sikapnya ketika melaporkan dosen Ubedilah Badrun ke Polda Metro Jaya. Di hadapan media, Noel menyebut dirinya sebagai “satu-satunya aktivis yang punya komitmen bahwa korupsi harus dihukum mati”. Kalimat itu menegaskan konsistensi retoriknya: ia menempatkan korupsi sebagai musuh utama bangsa, yang pantas diganjar dengan hukuman paling keras.

Namun, justru di titik inilah ironi itu muncul. Retorika keras yang dulu ia gaungkan kini berbalik menghantam dirinya. Publik menagih janji moral yang pernah ia ucapkan. Di sinilah kita melihat problem mendasar politik Indonesia: moralitas sering dijadikan alat retorika, bukan fondasi etis yang sungguh-sungguh dihayati. Apa yang dulu terdengar heroik kini terasa seperti satir tragis. Dan dari sini, kritik dialektis pun lahir—apakah kita sedang berhadapan dengan kejatuhan personal seorang politisi, atau justru menyaksikan bagaimana hipokrisi sudah menjadi bagian yang lumrah dari budaya politik kita?


Komentar

  1. Kalau narasinya benar dan konsekuensi dari tindakan korupsinya bisa di ukur.

    Lakukanlah hukuman mati bagi koruptor walaupun untuk dirinya sendiri. Noel harus tidak mau di berikan hukuman selain hukuman mati...

    BalasHapus

Posting Komentar