Wakil Rakyat 'Negeri' vs Wakil Rakyat 'Swasta': Sebuah Renungan tentang Arti Sebenarnya dari Melayani
Wakil Rakyat 'Negeri' vs Wakil Rakyat 'Swasta': Sebuah Renungan tentang Arti Sebenarnya dari Melayani
Muhammad Naufal Taftazani, #NaufalLawyer - www.NaufalLawyer.com
Dulu saya pernah punya angan-angan jadi anggota dewan, jadi wakil rakyat. Bayangannya, jadi orang yang duduk di kantor dewan perwakilan, bersuara lantang membela rakyat kecil, mengetuk palu untuk kebijakan yang memihak, dan merasa menjadi pahlawan yang mengubah nasib banyak orang.
Tapi kemudian, seiring waktu, saya mulai banyak merenung. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai bermunculan di kepala. Apa sih sebenarnya tujuan mau jadi wakil rakyat? Benarkah untuk mensejahterakan rakyat? Lalu, kenapa saya harus mensejahterakan rakyat? Apakah ini semacam panggilan jiwa? Tugas suci? Atau bentuk ibadah yang paling mulia?
Saya sempat berandai-andai, "Wah, enak ya jadi wakil rakyat. Pasti bisa bantu rakyat lebih banyak. Punya kuasa, punya akses, punya anggaran." Itu adalah pemikiran yang wajar. Namun, semakin dalam saya merenung, semakin saya merasa bahwa pemikiran itu justru... naif. Bahkan, bisa dibilang bodoh.
Mengapa? Karena saya menyadari satu hal paling mendasar: Membantu rakyat tidak pernah memerlukan jabatan.
Kita sering terjebak dalam ilusi bahwa untuk berbuat besar bagi orang banyak, kita harus punya kursi, punya titel, punya wewenang formal. Padahal, kenyataannya nggak begitu. Lihat saja di sekitar kita. Banyak sekali orang-orang yang tanpa jabatan, tanpa embel-embel "wakil rakyat", justru melakukan kerja-kerja nyata yang langsung menyentuh grass root.
Dari segi keberkahan? tentunya Allah Subhanahu wa ta'ala memberi kita tanggung jawab sesuai dengan kemampuan kita, ukuran ibadah menjadi lebih berkah, karena besarnya pahala bukan seberapa besar uang yang anda infaqkan, tapi seberapa besar infaq dibandingkan dengan kapasitas tanggung jawab anda. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham“. Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.” (HR. An Nasai no. 2527 dan Imam Ahmad 2: 379. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Para wakil rakyat itu kerap mengumbar janji. Mereka meminta dukungan kita dengan dalih yang mulia: "Serahkan pada saya, saya yang akan berjuang untuk anda." Tapi coba pikirkan, kalau memang niatnya tulus membantu, kenapa harus menunggu dipilih dulu? Kenapa nunggu jadi pejabat dulu baru turun tangan?
Jujur saja, yang seringkali ada di bayangan banyak orang ketika bicara jadi wakil rakyat adalah... fasilitasnya. Gaji besar, tunjangan yang wow, mobil dinas, dan segudang hak istimewa lainnya. Itu realita yang sulit dibantah.
Dari renungan itulah, saya memutuskan untuk mengambil jalan lain. Saya memilih untuk tidak mengejar kursi untuk bisa membantu, tapi langsung mengejar bantuannya itu sendiri. Saya putuskan untuk membangun Baitulmaal.
Idenya sederhana: membangun lembaga filantropi ini dari hasil keringat sendiri, membesarkannya pelan-pelan, dan membuat program-program yang didanai secara mandiri. Tidak ada anggaran negara, tidak ada uang pajak rakyat. Murni dari kantong sendiri dan sumbangan dari para dermawan yang percaya pada visi yang sama.
Dan Alhamdulillah, program ini sudah berjalan selama 10 tahun dan terus berkembang. Apa saja yang sudah kami lakukan?
Pembangunan Infrastruktur: Kami membantu perbaikan dan pembangunan jalan lingkungan dan musholla.
Bantuan Pangan: Ada program bagi-bagi beras, makan gratis, dan 'Nasi Jum'at' yang rutin setiap pekan.
Bantuan Ekonomi: Kami membuat program Infaq Pinjaman (memberi pinjaman lunak tanpa bunga untuk modal usaha) dan Infaq Sosial (memberi hibah/uang gratis untuk yang membutuhkan mendesak).
Pendidikan: Lewat Program Gembira (Gerakan Membagikan Alat Tulis Anak), kami berusaha meringankan beban orang tua dan menyenangkan hati anak-anak.
Pendampingan Hukum: Kami memberikan program advokasi gratis khusus untuk masyarakat miskin yang tak mampu membayar pengacara.
Dan masih banyak lagi. Semuanya berjalan tanpa memungut sepeser pun pajak dari rakyat. Kami mengatur semuanya berdasarkan kapasitas keuangan yang kami miliki.
Nah, di titik inilah saya ingin membagi dua istilah yang saya buat sendiri: Wakil Rakyat 'Negeri' dan Wakil Rakyat 'Swasta'.
Wakil Rakyat 'Negeri' adalah mereka yang duduk di lembaga formal, menggunakan anggaran negara (yang sumbernya dari pajak kita semua) untuk membangun ini-itu dan membantu rakyat. Mereka punya fasilitas lengkap dari negara. Jangan jumawa kalau membantu, karena yang dipakai adalah uang rakyat.
Wakil Rakyat 'Swasta' adalah anda, saya, dan kita semua yang turun langsung, merogoh kocek pribadi, menyisihkan rezeki, untuk membuat program kesejahteraan rakyat. Kita memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa mengandalkan fasilitas negara. Inilah perjuangan yang sesungguhnya, yang lebih terhormat, dan tentu saja, lebih berkah karena tidak ada ruang untuk 'anggaran disunat' atau korupsi.
Jadi, untuk anda yang selama ini mungkin tanpa gedung mewah, tanpa mobil dinas, tanpa tunjangan, tapi tetap konsisten membagikan paket sembako, membantu bayar SPP anak yatim, membangun MCK umum, atau sekadar mengajari anak-anak mengaji... Banggalah!
Anda adalah Wakil Rakyat 'Swasta' yang sejati. Perjuangan anda tidak kalah mulia, bahkan mungkin lebih ikhlas dan lebih langsung menyentuh. Anda tidak perlu menunggu 5 tahun sekali untuk dipilih, karena anda dipilih setiap hari oleh senyum dan rasa syukur mereka yang anda bantu.
Teruslah berbuat. Kebaikan anda, sekecil apapun, adalah bentuk dari kepemimpinan yang sesungguhnya.
Semangat untuk terus menjadi wakilnya rakyat
BalasHapus